IMG-20160604-WA0000

Blitar, Beritamadani.co.id, – Kisah musik jalanan memang kurang menarik dibicarakan, ketika dipersandingkan dengan industri musik yang lahir karena modal kantong tebal. Mudah saja orang menjadi tenar katanya karena punya modal besar. Tapi bisa menjadi tenar dengan musik jalanan, apalagi yang temanya mengusung Seni Tradisi Jaranan-Dangdut, adalah upaya nekad yang patut diacungi  jempol,  kini ditekuni seorang Bocah dari Blitar yg bernama asli, Agus Rendi, 20 th, asal Desa  Tawangsari, Garum, Kab. Blitar, yg lebih akrap di panggil Kenthus.

Hampir tiap malam hari Kenthus berjalan kaki mendengungkan Jampring (alat musik jaranan dari bambu, red), keliling dari desa ke desa, dari rumah ke rumah di Wilayah Blitar. Berbekal  semangat kepolosannya, anak ini seakan tidak peduli orang memuji atau memakinya. Dengan suaranya yg serak, karena siang harinya jadi kuli angkut pasir di proyek penambangan pasir, di Kali Bladak, Nglegok , malamnya dia menjalani kehidupan berkesenian dengan hati yang polos. Bahkan sudah sejak usia 10 tahun, dia menjalani hidup jadi pengamen jalanan Jampring. “Dari jadi kuli pasir, aku dapat 60 ribu mas perhari”. “Tapi jadi pengamen Jampring aku lebih senang walau honornya ga seberapa”. “Kadang aku dikasih 5 ribu per rumah yg nanggap aku, kalo di Omah Budaya ini aku di kasih  honor 1 jt, wah luarbiasa”. (kebetulan mlm ini Nonik Sita, anggota manajemen Omah Budaya Sawentar ultah yg ke 17. Dan anehnya, minta ditanggapkan musik pengamen jalanan sebagai hadiah ultah, red). ” Ini uang honor paling besar yg pernah aku terima dalam hidupku”.” Semoga berkah mbak Nonik Sita yo? hehehe”,” seloroh si Kenthus si sela sela pentas tunggalnya, dan awak Beritamadani.co.id nyanggong acara unik tersebut, di depan teras Omah Budaya, Pimpinan Ki Jontor Siswanto, malam itu.

Kenthus tidak punya cita-cita muluk dalam hidupnya. Dia bisa kerja apa saja, dimana saja tenaganya dibutuhkan. “Yang penting halal mas,” katanya. Dia sekarang tengah ngumpulin duit buat nikahin pacarnya yg lumayan cantik untuk ukurannya”.” Jelek mas, tapi ngerti sama kondisi seorang laki-laki”.” Gak neko neko”, komentarnya berfilsafat sambil nunjukin photo pacarnya ke semua hadirin.

“Kok mau keburu nikahin pacar? apa sdh hamil duluan diluar nikah?” Goda Nonik Sita yangg malam itu terlihat nampak happy di ultah 17 nya”.” Wow… belum mbak! walau aku anak jalanan, walau droup out dari SMK PGRI 3 Blitar, aku ga mau nglanggar hukum mbak!” jawab si Kenthus tegas yg disambut tepuk tangan para hadirin.

IMG-20160604-WA0001

Jampring  adalah sebuah alat musik yang dia bikin sendiri dari bambu hitam, yang jika dipukul mengeluarkan serangkaian nada bunyi bunyi gamelan, seperti kenong, kempul,  gong ( dengan 3 nada suara, red), mirip nada gamelan jaranan beneran yang komplit, minus kendang. Dengan alat ini si Kenthus, piawai Nembang Jawa dan lagu- lagu dangdut yang tengah hit saat ini. Alat ini dia juga jual kalo ada pesanan seharga 50 ribu, hingga 200 ribu per unit komplit.

Ide dasar pembuatan Jampring ini dia dapat ketika dia sedang rekreasi ke jakarta, secara tidak sengaja dia lihat diteras rumah rumah orang kaya, tergantung mainan yang unik terbuat dari alumunium, yang ketika ditiup angin bergoyang goyang menimbulkan bunyi alami yang indah sekali. Pasti mahal itu harganya. “Gumannya saat itu”, dan dia merasa pasti tidak mampu membeli. Tapi pada saat itu justru pikiran kreatifnya muncul. ” Aku pasti bisa membuat mainan yang mahal itu, yg bunyinya indah itu, tapi bahannya aku ganti bambu yang banyak tumbuh di Desaku di Blitar. Nanti aku bisa jual ke teman teman dengan harga murah.” Kini dengan berbekal ide kreatif tersebut dia bisa bikin alat musik dari bambu tersebut dengan harga yang terjangkau uang saku anak anak kampung. Sebuah mainan tradisional yang juga bisa difungsikan menjadi Alat Musik Tradisional Khas Blitar, Jampring, namanya.

Anak yang lahir dari pasangan seniman jaranan dan penyanyi dangdut ini, setidaknya bisa menjadi potret alami yang lahir dalam kepolosan suara musik jalanan. Nyanyian rumpun bambu yang tumbuh liar di tanah subur Blitar saja? Tidak. Bambu bisa tumbuh dimana saja, kapan saja, bahkan sulit bila ingin dimatikan. Sebagaimana si Kenthus- Kenthus yg lain, pasti banyak di sekitar kita. Kisah hidup kemandiriannya, adalah bukti nyata ketangguhan anak- anak muda kita. Sayang, kita jarang memperhatikannya. Bahkan mungkin hanya dipandang sebelah mata.

Lalu dimana peran Dewan Kesenian? Di mana peran Lembaga- lembaga Seni Budaya? Dimana peran Pemerintah yang nyata, sampai menyentuh potensi masyarakat bawah, padahal  akhir- akhir ini getol punya program ekonomi kreatif? Kampung Wisata???

Si  Kenthus Vs Jampring, adalah potret nyata sebuah harga kreatifitas dengan latar belakang kearifan budaya lokal didukung kekayaan alam kita yang melimpah, yang semestinya kita bisa membantu mendongkrak sebuah harga suatu Indentitas. Mungkin harga diri yang muncul dari masyarakat bawah dan merupakan Indentitas Budaya Bangsa Indonesia. (Titik Marlina)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Pagelaran Wayang Kulit Memperingati Hardiknas Dinas Pendidikan Kota Kediri
Next post Pelayanan Sijempol SAMSAT Situbondo Di Pendopo Alun-Alun dan Masjid Jami Situbondo