Jakarta, www.beritamadani.co.id – Seminar Anti Korupsi dengan topik ’Integrity, Good Corporate Governance and Anti-Corruption Establishment’ yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina, Indonesia dan Universiti Teknologi Mara (UiTM), Malaysia membahas beberapa isu terkait perkembangan dan tantangan pemberantasan korupsi di kedua negara. Diskusi tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh Pendidikan dan penggiat anti korupsi dari Indonesia dan Malaysia seperti Prof. Didik J. Rachbini, Prof. Dr. Jamaliah Said, Asriana Issa Sofia, Tuan Mohd Nur Lokman bin Samingan dan Adrian A. Wijanarko.
Institusi Pendidikan dan Sektor Swasta Harus Terlibat Aktif Untuk Menekan Angka Korupsi
Menurut Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, korupsi adalah ‘the biggest and the hardest enemy of the people’. Semakin banyaknya pihak yang terlibat dan jumlah nominal yang dikorupsi dalam beberapa waktu terakhir ini, memperlihatkan bahwa ini korupsi adalah musuh besar yang harus dilawan dan dihilangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal yang lebih memprihatinkan lanjut Didik, adalah bahwa para koruptor merupakan alumni perguruan tinggi terbaik setiap negara. “Pihak Universitas juga harus bertanggung jawab dengan memberikan pelajaran tentang etika, norma dan hukum tentang korupsi”, ujar Didik.
Asriana Issa Sofia, dosen Universitas Paramadina, yang juga penggiat anti korupsi, menyatakan bahwa saat ini tren pelaku korupsi yang didominasi oleh lulusan pendidikan tinggi. Selain itu, umur dari pelaku korupsi semakin banyak berasal dari kalangan muda. “Tren pelaku korupsi sebesar 86% itu berasal dari pendidikan tinggi dengan dominasi oleh lulusan magister. Sedangkan umur pejabat yang melakukan korupsi tidak lagi didominasi oleh generasi atas, namun juga generasi muda ikut korupsi, bahkan yang termuda itu 24 tahun merujuk pada kasus korupsi di Bupati Penajam Paser Utara”, tutur Asri.
Prof. Jamaliah Said, Director of Accounting Research Institute Universiti Teknologi MARA, menjelaskan bahwa tidak ada bukti penelitian yang menunjukkan bahwa korupsi bergerak ke tren penurunan. “Seperti pernah disampaikan oleh Sultan Nazrin (Tokoh Kerajaan Malaysia) yang mengibaratkan korupsi saat ini seperti penyakit kanker yang ada di level 4. Ada pada tahapan yang memprihatinkan”.
Pelemahan Demokrasi dan KPK
Lebih lanjut Prof. Didik J. Rachbini memaparkan perjalanan panjang Indonesia dalam menerapkan demokrasi dan penegakan hukum anti korupsi. “Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 itu sebenarnya adalah revolusi yang diperhalus. Karena Indonesia mempunyai pengalaman panjang dari pemerintahan yang otoriter, maka sesudah reformasi muncul demokrasi dalam bentuk lembaga independen seperti KPK.”
Sepak terjang KPK yang sangat baik ternyata memberikan rasa cemas bagi para pelaku korupsi. “KPK ini sangat kuat dan ada ratusan pelaku dari Walikota, Bupati, Gubernur dan Menteri yang ditangkap. Tidak ada Lembaga Anti-Korupsi di dunia yang sekuat KPK. Karena begitu kuatnya maka ada perlawanan dari politisi untuk melemahkan KPK,” imbuh Didik.
Namun pada akhirnya, KPK berhasil dilemahkan. Padahal menurut Didik pada era presiden SBY sempat menolak Amandemen Undang Undang KPK. “Kalau Presiden tidak setuju, maka tidak ada Amandemen Undang Undang KPK ini,” tegas Didik. Ketika kegiatan Anti Korupsi yang diperjuangkan KPK semakin menurun, maka dampak yang dihasilkan semakin besar. Salah satunya adalah nilai demokrasi.
Menurut Adrian A. Wijanarko, Koordinator Anti Korupsi Universitas Paramadina dan Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute, menyebutkan bahwa penurunan demokrasi dan pelemahan Anti Korupsi ini terlihat dari beberapa indikator. “Indeks penurunan korupsi di Indonesia terlihat dari Corruption Perception Index (CPI) dari Transparency International. Namun pelemahan nilai CPI Indonesia diikuti juga oleh pelemahan indikator demokrasi Indonesia, seperti Democracy Index, Indeks Demokrasi Indonesia, Fragile State Index, Global Freedom Score sampai dengan Press Freedom Index dan Internet Freedom Score. Artinya memang ada indikasi penurunan KPK berdampak pada penurunan demokrasi di Indonesia,” ujar Adrian.
Peran Institusi Pendidikan dan Sektor Swasta
Peran institusi Pendidikan dalam penurunan jumlah korupsi memiliki peran sama krusialnya dengan penangkapan oleh KPK. Menurut Asriana, ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam penegakan anti korupsi yaitu represif, preventif, edukasi dan kampanye. Oleh karena itu kegiatan edukasi dan kampanye yang dilakukan oleh institusi pendidikan itu sangat penting. Asriana juga menjelaskan terkait Pendidikan Anti Korupsi (PAK) yang sudah diadopsi oleh Perguruan Tinggi di Indonesia. Sebanyak 32,2% perguruan tinggi dan 31,6% program studi sudah mengimplementasi PAK.
Selain itu pada sektor swasta peran Anti Korupsi tidak hanya berfokus pada kegiatan suap dan pencucian uang saja. Menurut Adrian kegiatan korupsi secara makro akan menciptakan inefisiensi, meningkatkan kriminalitas, memperlambat pertumbuhan, dan memperburuk citra dan iklim investasi nasional secara makro.
“Buruknya penerapan penerapan tata kelola perusahaan menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dan Global” tambah Adrian. Meskipun kasus korupsi yang melibatkan sektor swasta relatif tinggi, namun upaya pencegahan dan penindakan masih terkonsentrasi di sektor publik. “Meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap peraturan bagi perusahaan, menerapkan kode etik dan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bisa menjadi solusi untuk menurunkan praktik korupsi di sektor swasta,” tutup Adrian. (*/Red.BMK)