Jakarta, www.beritamadani.co.id – Duta Besar Misi Jepang untuk ASEAN, Masahiko Kiya menandaskan bahwa tahun ini, menjadi kesempatan yang besar dan juga perayaan terjalinnya hubungan persahabatan antara Jepang dan negara-negara ASEAN. Jepang sepakat dan berada pada level yang sama untuk mempromosikan AOIP (ASEAN Outlook on Indo-Pacific).
Hal ini disampaikannya dalam acara “Deepening AOIP Cooperation for the Epicentrum of Growth: Commemorating the 50th Year of ASEAN-Japan Friendship and Cooperation” yang bertempat di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, pada Selasa (19/9/2023).
Hadir sebagai pembicara Tanaka Hideyuki, Chair, SubCommittee On ASEAN Economic Relations Keidanren, Dr. Venkatachalam Anbumozhi, Director of Research Strategy and Innovation ERIA, Dr. Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF, dan Mohammad Syaban, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, dan dimoderatori oleh Eisha M. Rachbini, Ph.D., Head of Center of Digital Economy and SMEs, INDEF.
Dalam sambutannya Dr. Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina, menyatakan bahwa Jepang menjadi bagian penting dalam dalam pembangunan negara di ASEAN. “Tiga prinsip ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) adalah Centrality, Inclusivity, and Complimentary. Hal ini menjadi refleksi hubungan Jepang dan Negara di ASEAN yang akan terus bertambah kuat di masa depan untuk menghadapi perubahan yang terus terjadi secara cepat,” katanya.
Pembicara pertama Hideyuki Tanaka memaparkan inisiatif prioritas Keidanren (Japan Business Federation) yakni: (1) Mencapai pertumbuhan melalui Sains, Teknologi, dan Inovasi, (2) Menciptakan kelas menengah yang luas, (3) Membangun masyarakat dan perekonomian regional yang menarik, (4) Reformasi sistem fiskal dan perpajakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, (5) membangun kembali tatanan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka dan (6) berkontribusi dalam menyukseskan Expo 2025 Osaka.
“Prioritas untuk ekonomi ASEAN adalah transformasi digital yang mendongkrak pertumbuhan dan memberdayakan UMKM, pembangunan berkelanjutan memberikan akses yang adil terhadap energi bersih, insentif keuangan dan energi terbarukan, membangun Ketahanan kesehatan dan ketahanan pangan,” paparnya.
Tanaka juga menyebutkan tiga pilar kemitraan Jepang-ASEAN yakni: (1) Membentuk tatanan regional yang bebas, terbuka, berdasarkan aturan, dan adil, (2) membangun masyarakat yang memenuhi kesejahteraan ekonomi, keberlanjutan, dan pemerataan dan (3) Saling pengertian dan percaya sebagai landasan bagi pembaruan kemitraan ASEAN-Jepang.
Pembicara kedua Mohammad Syaban menyatakan bahwa selama 50 tahun, hubungan ASEAN-Jepang telah berkembang dari motif ekonomi menjadi prioritas kerja sama antar masyarakat, dengan menekankan pentingnya hubungan budaya dan antarmanusia.
Harapan ASEAN kepada Indo-Pasifik (AIOP) lanjut Syaban adalah untuk memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip hukum standar, sehingga memberikan manfaat bagi negara-negara ASEAN.
“Mengatasi kesenjangan pendanaan infrastruktur yang semakin besar di ASEAN sangat penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, seperti yang disoroti oleh penelitian ADB,” tuturnya.
Metode pendanaan yang inovatif, termasuk Official Development Assistance (ODA), dapat meningkatkan kepemimpinan Jepang dalam keberhasilan AIOP, mendorong perdamaian dan kemakmuran.
“ODA Jepang tetap menjadi alat diplomasi yang penting di tengah ketidakpastian global seperti persaingan AS-Tiongkok, sehingga berkontribusi terhadap visi komunitas ASEAN dan stabilitas regional,” ujar Syaban.
Dalam kesempatan yang sama Tauhid Ahmad menyoroti Peran Jepang dalam investasi di Indonesia yang sangat strategis meskipun terdapat fluktuasi yang mencerminkan kondisi kedua negara.
“Terdapat hambatan utama terhadap investasi di Indonesia mulai dari upah tenaga kerja, biaya pengadaan, perpajakan, fluktuasi nilai tukar dan prosedur kepabeanan. Diperlukan terobosan baru terkait formulasi upah yang kompetitif, efisiensi pengadaan bahan baku dan proses, penguatan insentif dan kepastian pajak serta penguatan kebijakan de-dolarisasi,” ungkapnya.
Syaban juga menyoroti perdagangan antara Indonesia dan Jepang menunjukkan kecenderungan menurun di tengah rendahnya pertumbuhan ekonomi Jepang.“Terdapat kendala dalam penguatan perdagangan kedua negara, mulai dari belum optimalnya industri manufaktur Indonesia, hambatan non-tarif kedua negara, hingga karakteristik bisnis di Jepang yang canggih,” terangnya.
Ia juga menyarankan pentingnya untuk memperkuat industri Indonesia dengan menjalin kemitraan yang lebih luas dengan investor Jepang dan dibarengi dengan peningkatan daya saing guna memenuhi hambatan non-tarif yang diberlakukan Jepang.
Pembicara terakhir Venkatachalam Anbumozhi mengungkapkan tren kerjasama ekonomi Jepang-ASEAN yakni: Semakin beragamnya konsumen dan kemajuan teknologi industri, Peningkatan risiko rantai pasokan, Munculnya cita-cita sosial baru seperti hak asasi manusia.
“Rekomendasi Kemitraan Ekonomi ASEAN-Jepang untuk Masa Depan yang Berkelanjutan dan Berketahanan selanjutnya adalah mempromosikan perdagangan dan investasi, harus bertujuan untuk masa depan yang berkelanjutan, mendorong perekonomian digital dan inovatif, serta membangun tenaga kerja profesional untuk masa depan,” pungkasnya. (PRM)