Jakarta, www.beritamadani.co.id – Isu Resesi yang akan terjadi pada tahun 2023 seolah menjadi momok ancaman baik dalam Industri dan Individu. Ditengah pemulihan perekonomian dunia pasca pandemi, Indonesia kembali dihadapi isu krisis keuangan. Menurut Ikhsan, mesin perekonomian dunia yang selama ini digerakkan oleh Amerika Serikat, China dan Eropa mengalami kendala. Kamis (10/11/2022).
Hal ini disampaikan oleh oleh Muhamad Ikhsan, Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Paramadina, Senior Researcher PPPI pada acara Paramadina Democracy Forum (PDF) Sesi 5 dengan tema Resesi Ekonomi Indonesia Tahun 2023: Fakta dan Tantangan yang diselenggarakan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI). Acara tersebut juga diisi oleh Ariyo D.P. Irhamna Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Paramadina dan dimoderatori oleh Adrian A Wijanarko selaku Director of Research PPPI.
Krisis Global Dunia
“Permasalahan inflasi di Amerika Serikat, isu iklim di China dan perang Rusia dan Ukraina di Eropa menjadi permasalahan yang terjadi saat ini,” ujar Ikhsan. Selain itu permasalahan juga timbul akibat persaingan Amerika Serikat – Tiongkok di Kawasan Asia Timur dan pemulihan dunia pasca pandemi Covid-19.
“Pandemi berdampak pada pelaku usaha dan rumah tangga. Pelaku usaha tidak bisa bekerja karena lockdown dan akhirnya terpaksa melakukan PHK, mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan dan berdampak pada daya beli turun pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan. Pada akhirnya seluruh negara memberikan bantuan kepada masyarakatnya untuk menjaga daya beli. Akibatnya terlalu banyak perputaran uang di lapangan dan terjadi inflasi,” jelas Ariyo. Inflasi ini menurut Ariyo merupakan “Bom Waktu” yang pasti akan terjadi selama pandemi. Kenaikan inflasi ini ditandai dengan kenaikan global inflation pada tahun 2021 sebesar 4,7% menjadi 7,5% pada tahun 2022.
Menurut Ariyo situasi di Ukraina juga mempercepat “Bom Waktu” tersebut. Pasokan gas yang terganggu menyebabkan inflasi semakin tidak terkendali. Padahal gas tidak hanya untuk sebagai energi saja tapi juga sebagai bahan baku pupuk untuk pangan.
Neraca Dagang Indonesia
Namun dari keadaan global tidak mempengaruhi gejolak perekonomian di dalam negeri. Melihat neraca dagang Indonesia dengan negara lain, Indonesia tidak akan terkena dampak signifikan terhadap keadaan global tersebut.
Menurut Ariyo pada tahun 2021 pertumbuhan nilai ekspor menyumbang tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 24.04%. Dari 10 negara yang menjadi pembeli terbesar produk Indonesia, 6 diantaranya mengalami trade surplus. Hanya 4 negara yang mengalami trade defisit yakni China, Singapore, Korea dan Thailand. Selain itu neraca dagang triwulan 2 tahun 2022 mengalami surplus sebesar USD 15,55 miliar meningkat dari triwulan 1 tahun 2022 sebesar 67,85%. Artinya perdagangan Indonesia dengan mitra dagang dunia yang lain masih tergolong baik.
Baik Ariyo dan Ikhsan sepakat untuk mengoptimalkan perdagangan yang ada di Kawasan Asia Tenggara. Melihat data yang ada pertumbuhan perdagangan di Indonesia dengan negara di dalam kawasan ASEAN seperti Singapura dan Vietnam mengalami pertumbuhan di Q2 dari Q1 pada tahun 2022.
Menurut Ariyo isu resesi di Indonesia tidak begitu ditakuti. Berbeda dengan krisis yang disebabkan oleh pandemi, isu resesi sudah dapat diprediksi oleh ekonom sehingga para pengambilan keputusan di tingkat negara sudah dapat mempersiapkan kebijakan yang tepat.
Ikhsan dan Ariyo setuju dengan kebijakan pemerintah sudah melakukan kebijakan yang tepat dimana memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada kuartal awal, sehingga dapat dikatakan angka daya beli masyarakat terjaga. Namun Ikhsan dan Ariyo mengingatkan untuk menjaga keadaan keuangan negara dengan menunda sejumlah proyek pembangunan yang didanai oleh negeri seperti proyek Ibu Kota Negara baru dan proyek Kereta Cepat Jakarta – Surabaya yang dirasa tidak terlalu mendesak sehingga dapat menghemat anggaran. “Kan krisis tidak terjadi saat ini saja. Biasanya di zaman Pak Harto 32 tahun lebih ada krisis. Biasanya kalau proyek ini ditunda. Namun sepertinya di era sekarang tidak mungkin terjadi.”
Kesiapan Industri dan Rumah Tangga
Terkait apa kesiapan pada level industri dan rumah tangga dalam menghadapi resesi, Ikhsan menjelaskan untuk level industri yang berhubungan dengan suku bunga bank yang akan naik selama resesi seperti properti dan perbankan akan terkena dampak. Sedangkan sektor komoditas ekspor dinilai akan menjadi sektor yang diuntungkan karena terkait dengan nilai Rupiah terhadap Amerika Dollar.
Sedangkan pada level rumah tangga untuk dapat menganggarkan rencana keuangan yang lebih baik. Ketika COVID sudah mulai mereda dan aktifitas sudah kembali dibuka, maka ada kecenderungan masyarakat akan fenomena fear of missing out (FOMO). Terlihat dari beberapa konser dan perjalanan pesawat ke destinasi wisata yang banyak banyak diminati masyarakat. Oleh karena itu Ikhsan menyarankan untuk dapat mengelola keuangan secara baik. (*/Red.BMK)