Batu, www.beritamadani.co.id – Kondisi lingkungan hidup di Kota Batu belakangan ini semakin memprihatinkan. Hal ini ditenggarai sejumlah kebijakan pembangunan Pemkot Batu mengabaikan kelestarian lingkungan demi kepentingan investor semata.

Akibatnya kerusakan lingkungan terus menerus terjadi. Salah satunya tampak saat terjadi banjir bandang di Kota Batu beberapa waktu lalu yang diduga kuat, karena maraknya pembangunan di kawasan hutan rakyat dan hutan lindung di lereng Gunung Arjuno.

Koordinator Aliansi Selamatkan Malang Raya, Jansen Janwan Tarigan yang juga Kepala Divisi Riset MCW Malang mempertanyakan, bagaimana bisa ada pembangunan di kawasan yang secara hukum dilarang?

“Ini jelas betapa menunjukkan perizinannya bermasalah dan bernuansa koruptif,” katanya di hadapan awak media, saat konferensi pers di depan gedung DPRD Kota Batu, Selasa (22/2/2022) siang.

Menurutnya, kondisi tersebut kemudian terkonfirmasi saat penyusunan Raperda RTRW Kota Batu yang syarat kepentingan pemodal dan nihil partisipasi publik. 

“Beberapa kali masyarakat mencoba meminta informasi perihal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kota Batu tapi tidak dipenuhi, demikian halnya pengajuan audiensi penyampaian aspirasi kepada wakil rakyat tapi diabaikan,” ungkapnya.

Pemerintah dan wakil rakyat, lanjut dia dituding menjalankan pemerintahan secara ekslusif dan mengingkari demokrasi.

“Tentu saja hal ini menjadi ancaman besar ke depan bagi kelestarian lingkungan di Kota Batu. Maka rakyat tidak boleh diam saja, mari kita kawal dan lawan ketidakadilan demi kebaikan bersama,” tukas dia.

Tertutupnya ruang demokrasi dan ancaman kerusakan ekologis di Kota Batu.

Persoalan lingkungan hidup di Kota Batu, masih kata Jansen, selalu mengundang problematik yang cukup pelik. Mulai dari penyusutan hutan primer, ruang terbuka hijau, hingga puncaknya pada 4 November 2021 terjadi banjir bandang yang merusak permukiman di kampung-kampung sepanjang aliran Sungai Brantas.

“Jelas sekali kondisi ini diperparah dengan kebijakan Pemerintah Kota Batu utamanya dalam memberikan izin pembangunan bagi bangunan usaha yang berdiri di kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Alih fungsi lahan inilah yang berdasarkan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menyebabkan penyusutan kawasan hijau di Kota Batu, sehingga turut memberikan kerentanan wilayah terhadap bencana ekologis,” bebernya.

Sementara itu, dalam menanggapi persolan ini, Aris yang juga Koordinator Aliansi Selamatkan Malang Raya telah melakukan kajian terhadap rencana perubahan ruang dan wilayah yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

“Hasilnya, terlihat bahwa Pemerintah Kota Batu berniat mendatangkan bencana ekologis yang lebih besar melalui revisi Perda RTRW. Secara umun, perubahan itu terjadi melungkupi:

1. Penghilangan tiga jenis kawasan lindung.

2. Peredukasian kawasan lindung setempat.

3. Pengurangan jumlah kawasan sempadan mata air yang dilindungi dari 111 mata air menjadi mata air di tiga desa.

4. Pengurangan besaran sempadan sungai dan perubahan kalimat dari “Kawasan Pemukiman atau Di luar Pemukiman” menjadi “Kawasan Terbangun atau Tidak Terbangun” yang melegitimasi kondisi ketidakteraturan pembangunan di Kota Batu.

5. Penghilangan kawasan cagar budaya.

6. Alih fungsi kawasan di keseluruhan wilayah hutan lindung menjadi wilayah hutan produksi,” paparnya.

Selain itu, masih kata Aris, Aliansi Selamatkan Malang Raya juga telah mengupayakan beberapa agenda advokasi diantara mengajukan permohonan informasi berupa dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang hingga kini tidak kunjung ditanggapi oleh Pemerintah Kota Batu.

“Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemerintah Kota Batu pada saat audiensi tanggal 4 Oktober 2021 menjanjikan akan memberikan dokumen tersebut kepada publik. Tetapi faktanya tidak. Kepala DLH Pemerintah Kota Batu dirasa juga tidak konsisten terhadap pernyataan untuk menghentikan pembangunan kolam ikan di Sumber Umbul Gemulo tersebut. Hal itu dibuktikan dengan masih beroperasinya kegiatan pembibitan di kolam tersebut. Diperparah, DPRD Kota Batu sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah juga bertindak abai terhadap aspirasi masyarakat sipil yang peduli pada kondisi kerusakan lingkungan di Kota Batu,” ujar dia.

Menurutnya, Aliansi Selamatkan Malang Raya sudah dua kali mengajukan permohonan audiensi per November 2021 dan Januari 2022 namun permohonan tersebut diabaikan begitu saja dengan berbagai alasan prosedural.

“Padahal, tujuan audiensi tersebut adalah untuk mendiskusikan persoalan kerusakan lingkungan dan perubahan kebijakan RTRW yang diduga tidak partisipatif dan mengancam keselamatan lingkungan hidup di Kota Batu. Berkaitan dengan hal itu, maka kami Aliansi Selamatkan Malang Raya memandang bahwa Pemerintah Kota Batu beserta DPRD Kota Batu sangat tidak partisipatif dan tertutup. Hal ini mengindikasikan bahwa keduanya tidak memiliki keberpihakan terhadap upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan hidup beserta masyarakatnya. Bahkan, patut diduga bahwa revisi kebijakan RTRW merupakan upaya melegitimasi praktik eksploitasi dan alih fungsi lahan semata yang sekaligus mempersempit Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta peminggiran masyarakat dari ruang hidupnya. Terbukti, hingga kini Ruang Terbuka (RTH) di Kota Batu hanya tersisa 12 persen dari total luas wilayah,” tandasnya.

Oleh karena itu, Aliansi Selamatkan Malang Raya menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendesak kepada DPRD Kota Batu untuk segera membuka ruang partisipasi masyarakat peduli lingkungan hidup di Kota Batu. Menghentikan segala upaya penyempitan ruang demokrasi yang diajukan oleh masyarakat sipil, dan mendesak kepada DPRD Kota Batu untuk segera bertindak untuk menyelamatkan Kota Batu dari keterancaman bencana ekologis dengan tidak mendukung revisi Perda RTRW Kota Batu.

2. Mendesak kepada Pemerintah Kota Batu untuk membuka dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) kepada publik dan membuka ruang diskursus secara adil dan setara bersama masyarakat peduli lingkungan di Kota Batu.

3. Mendesak Pemerintah Kota Batu dan DPRD Kota Batu untuk tidak mengeluarkan segala bentuk kebijakan yang kontra terhadap upaya penyelamatan lingkungan dan pencegahan bencana, ataupun yang menyamarkan peran Perda RTRW. (*/Red.BMK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Beginilah Solusi dari Bupati Kediri Terkait Kelangkaan Minyak Goreng Murah
Next post Mas Bup Dhito Melepas Droping Minyak Goreng Murah untuk 12 Pasar