“Maaf pak, bapak dari mana?”, petugas Satpol PP itu berusaha menutup kamera handphone saya dan akhirnya mengacaukan pengambilan gambar yang sedang saya lakukan.

Kejadian itu saya alami ketika menjumpai ada penjual pepaya di tepi jalan yang sedang memperdagangkan buah, didatangi Petugas Satpol PP yang bertugas di lapangan untuk penertiban.

Kendaraan saya parkir, kamera saya hidupkan, saya tidak perlu izin, karena ruang publik, kemerdekaan pers saya coba buktikan, apakah saudara-saudara saya yang bertugas di lapangan  bisa memahami atau tidak.

Semua Satpol PP ketika saya ambil gambar untuk direkam mulai merapat, saya tenang saja. Celotehan macam-macam muncul. Akhirnya ada seorang petugas Satpol PP, sebut saja Amir (bukan nama sesungguhnya) menutup gambar kamera dan saya berhenti ambil gambar.

Saya jawab,”Saya dari media dengan status jelas, sekali-kali saya embel-embeli sebagai ini dan itu”.

Saya diatas angin ketika saya mulai lantang bicara di jalan raya yang banyak dilihat orang, maklum saya sendiri meladeni lebih dari 15 orang Satpol PP.

Saya bilang Kemerdekaan Pers itu memang dibatasi oleh aturan sebuah lembaga, kalau saya ini masuk ke lembaga apapun, saya harus ikuti aturan atau dikenal dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

Saya terus memberikan edukasi kepada mereka, ini ruang publik, bila ada kejadian apapun, misalnya: kecelakaan, hak bagi seorang wartawan untuk memberitakan, tidak perlu menunggu izin keluarga dari korban atau pelaku, karena untuk kepentingan Informasi publik, sebab akan berdampak terhadap lalu lintas dan sebagainya.

Dan masih banyak kejadian lain yang harus dinaikkan jadi berita, contoh: banjir, kebakaran atau pembunuhan.

Saya masih bersuara kepada mereka, meski ada seorang anggota Satpol PP meredam,”Coba anda banyak belajar tentang UU Pers, supaya tahu yang dimaksud Kemerdekaan Pers”.

Saya juga mengatakan jurnalis itu juga paham tentang kemerdekaan pers, bukan dengan lantang bahwa saya dilindungi UU Pers Pasal 18, sehingga kita bisa berbuat seenaknya masuk ke lembaga apapun tanpa etika, tentu akan jadi masalah.

Perlu sinergi dari birokrasi atau lembaga yang lain bila bersentuhan dengan wartawan, tidak perlu takut, saling memahami dan tahu tentang tugas jurnalis memberikan informasi publik yang di lindungi oleh UU Pers dan membuat karya jurnalistik, dengan catatan tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik, yang ada 11 pasal.

Oleh: Agung Santoso, Ketua FKPRM (Forum Komunikasi Pemimpin Redaksi Media) di Jatim dan Insiator FKPRM di Indonesia.

Editor: Tim BMK.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Mas Bup Hanindhito Himawan Pramana Ngantor di Balai Desa Tulungrejo
Next post Pemerintah Dorong Olahraga untuk Optimis Lewati Pandemi