Riyoyo Kupatan, Simbol Kultural Islam Nusantara dalam Perspektif Sosiohistoris dan Symbolic Attraction
4 mins read

Riyoyo Kupatan, Simbol Kultural Islam Nusantara dalam Perspektif Sosiohistoris dan Symbolic Attraction

Malang, www.beritamadani.co.id – Riyoyo Kupatan merupakan Simbol Kultural Islam Nusantara dalam Perspektif Sosiohistoris dan Symbolic Attraction.

Jejak Sosiohistoris: Dakwah Kultural Sunan Kalijaga

Tradisi Lebaran Kupatan atau Riyoyo Kupatan memiliki akar sejarah yang kuat dalam proses penyebaran Islam di Jawa, khususnya pada masa Kesultanan Demak abad ke-16. Salah satu tokoh sentral dalam perkembangan tradisi ini adalah Sunan Kalijaga, anggota Walisongo yang dikenal dengan pendekatan dakwah kulturalnya. Ia memperkenalkan dua istilah penting: Bakda Lebaran (1 Syawal) dan Bakda Kupat (7–8 Syawal), sebagai bagian dari strategi menyampaikan nilai-nilai Islam lewat budaya lokal.

Dengan pendekatan tersebut, Walisongo tidak menghapus budaya pra-Islam, melainkan menyerap dan mengislamkannya. Sunan Kalijaga, misalnya, menyelaraskan tradisi slametan dengan nilai-nilai Islam seperti syukur, silaturahmi, dan tobat. Kupatan pun menjadi jembatan dakwah yang menyentuh kalbu masyarakat Jawa.

Makna Filosofis Ketupat: Dari Bentuk hingga Bahan

Kata “ketupat” dalam bahasa Jawa mengandung banyak makna simbolik:

* Ngaku Lepat: mengakui kesalahan sebagai simbol permohonan maaf dan introspeksi diri.

* Laku Papat: lebaran, luberan, leburan, dan laburan—empat tahap spiritual yang menandai kemenangan Ramadan.

* Kiblat Papat Lima Pancer: bentuk segi empat ketupat mencerminkan arah mata angin dengan pusatnya adalah Tuhan, simbol bahwa manusia akan kembali kepada Sang Pencipta.

* Janur Kuning: simbol penolak bala, harapan untuk keselamatan dan keberkahan.

* Beras Putih di dalamnya menyimbolkan kesucian dan niat baik.

Dalam perspektif symbolic attraction, ketupat menjadi magnet budaya yang memikat masyarakat untuk menyatu dalam nilai-nilai universal Islam seperti pemaafan, kesederhanaan, dan kebersamaan. Simbol-simbol ini tak hanya menyentuh logika, tapi juga emosi kolektif masyarakat.

Kupatan di Berbagai Daerah: Ekspresi Kultural yang Hidup

Pantura Jawa – Lomban Kupatan

Di pesisir Pantura seperti Jepara, Pati, Rembang, dan Kudus, Lomban Kupatan menjadi puncak Idulfitri yang jatuh pada 7 atau 8 Syawal. Tradisi ini diawali dengan ziarah makam leluhur, dilanjutkan dengan larung kepala kerbau ke laut sebagai simbol persembahan dan harapan akan keselamatan bagi para nelayan. Bahkan, perang ketupat menjadi bagian dari ritual, yang menyimbolkan semangat dan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup.

Durenan, Trenggalek – Gunungan Kupat dan Open House

Di Durenan, Trenggalek, tradisi kupatan telah berlangsung lebih dari dua abad. Hari ketujuh Syawal menjadi momen gunungan kupat diarak keliling desa, diiringi suasana meriah dan penuh syukur. Setiap rumah membuka pintu untuk open house, menyajikan ketupat dan mengadakan salaman massal sebagai simbol rekonsiliasi sosial dan kekeluargaan.

Tanjung Kodok, Lamongan – Pawai dan Jabutan Ketupat

Di Pacitan dan Lamongan, gunungan ketupat dijadikan bagian dari pawai beregu yang bahkan dilombakan seperti karnaval. Setelah itu, masyarakat berebut tumpeng ketupat dalam acara yang disebut jabutan. Ritual ini menjadi representasi kegembiraan, kebersamaan, dan rezeki yang melimpah.

Bukit Sidoguro, Klaten – Doa dan Rebutan Gunungan

Di kawasan Rawa Jombor, Klaten, tradisi kupatan diwarnai dengan puluhan gunungan ketupat yang didoakan oleh tokoh agama sebelum diperebutkan masyarakat. Masyarakat percaya bahwa mendapatkan ketupat tersebut membawa berkah dan keberuntungan.

Pekauman, Gresik – Riyoyo Kupatan Sebagai Puncak Lebaran

Unik pula di Pekauman, Gresik. Di kampung ini, puncak perayaan Idulfitri justru pada hari ke-7 Syawal. Pada 1 Syawal kampung terlihat sepi, karena masyarakat memilih bersilaturahmi ke kerabat jauh. Mereka justru puasa Syawal dari hari ke-2 hingga ke-6, dan merayakan Riyoyo Kupatan dengan lebih meriah pada hari ke-7.

Kupatan Sebagai Daya Tarik Simbolik dan Kultural

Melalui lensa symbolic attraction, Riyoyo Kupatan bukan sekadar tradisi musiman, melainkan simbol kultural yang mempersatukan masyarakat dalam nilai spiritual dan sosial. Ketupat menjadi daya tarik emosional yang mengikat generasi, lintas wilayah, dan kelas sosial. Ia menyentuh ruang batin masyarakat lewat simbolisme yang kaya, sekaligus merekatkan kohesi sosial dalam balutan budaya.

Penutup

Riyoyo Kupatan adalah warisan budaya yang hidup dan terus berkembang. Di tengah modernitas, tradisi ini mengajarkan pentingnya merayakan keberagaman dalam kebersamaan. Melalui simbol ketupat, Islam Nusantara menunjukkan wajah damai, inklusif, dan akrab dengan budaya lokal—sebuah pelajaran penting tentang bagaimana nilai-nilai agama bisa diterima luas melalui pendekatan yang humanis dan membumi.

Penulis: Isa Wahyudi (Ki Demang), Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Mahasiswa Doktor Psikologi Budaya UMM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *