
Teror Kepala Babi Bukan Hanya Ancaman, Tetapi Membawa Pesan Mendalam Bahwa Wartawan Jangan Sok Suci

Malang, www.beritamadani.co.id – Teror terhadap Francisca Christy Rosana wartawan desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik Tempo, yang viral dalam dua hari ini, membuat para wartawan se Indonesia terkejut. Opini pun berkembang mengomentari kejadian teror kepala babi. Ada yang menganggap upaya pemberangusan jurnalis yang kritis, dan ada kekhawatiran gaya-gaya orde baru yang mulai muncul yang membahayakan kebebasan Pers. Oleh karena itu khusus kasus ini mari kita sikapi bersama selaku insan Pers. Menurut saya kasus ini membawa pesan sangat mendalam yaitu “wartawan jangan sok suci”. Kamis (20/3/2025)
Dasar opini saya melihat dari sisi agama yang saya yakini, kepala babi merupakan simbol kenajisan pada Perjanjian Lama (PL). Babi merupakan binatang pemakan semua, bahkan bangkai pun dimakan. Orang yang bersentuhan dengan babi akan dinyatakan haram, apalagi memakannya. Kira-kira narasi dan pesan kenajisan dari binatang babi itu yang ingin dibawa oleh si peneror.
Wartawan kompeten akan menulis dari hasil investigasi kasus dan diangkat dalam pemberitaan tentunya melalui proses investigasi yang mendalam. Pengumpulan data, konfirmasi nara sumber, analisa dan hasil akhirnya tentunya laporan investigasi. Menaikkan pemberitaan pun tentunya wajib dengan konfirmasi dan bila ada masalah, wajib memberikan kesempatan hak jawab. Dari standart investigasi inilah yang mungkin ada yang kurang pas, bahkan terlewat. Kita jangan ceroboh dan terlalu percaya diri, akibatnya bisa blunder.
Pernyataan Ketua DP dalam kasus ini yang dinaikkan di Tempo, pada 20/3/2025, bahwa peneror dalam kondisi terpojok. Menurut opini saya detailnya; peneror gusar, khawatir, tersinggung, peneror memiliki cara pandang sendiri terhadap apa yang dilakukan kepada wartawan yang diteror. Apapun yang dinyatakan, baik tulisan maupun pernyataan, dianggap menyakiti dan melukai hatinya, juga merugikan kelompoknya. Ia (peneror-red) tidak memiliki keberanian untuk berhadapan langsung, karena sangat beresiko. Bisa saja ketakutan ketahuan siapa yang menyuruh dan otak di belakang mereka.

Missi Teror kepala babi pun akhirnya dilakukan oleh peneror. Menurut saya memiliki makna peneror membawa pesan dan mengingatkan bahwa para wartawan pun tidak semuanya suci. Masih banyak yang penuh dengan kenajisan. Pesan lain bisa saja, jangan merasa sok suci, kamu pun masih seperti babi semua dimakan, baik makanan yang segar, bangkai juga dimakan. Simbol dari keserakahan.
Saya setuju bahwa siapapun yang melakukan ancaman dengan teror, wajib dihukum sebagaimana mestinya sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers No.40 Tahun 1999, harus ada effect jera. Bahkan Satgas Kekerasan DP wajib turun membela. LPSK juga wajib turun mendampingi. Karena bila dibiarkan akan berdampak terhadap kebebasan Pers di Indonesia ini. Secara personal, yang diteror merasa tidak aman, cemas, takut, menulis maupun wawancara jadi enggan, juga merasa ada pembiaran karena kejadian sudah berulang. Aparat harus bertindak tegas, segera menangkap pelaku teror kepala babi tersebut.
Kemudian apa yang harus kita lakukan selaku wartawan dimana bekerja penuh dengan resiko. Biapun kita bekerja dilindungi UU Pers Nomor 40 tahun1999, Pasal 8, kita harus bekerja dengan sikap kehati hatian, sesuai KEJ, wartawan harus pegang azas praduga tidak bersalah. Pernyataan kita, tulisan kita jangan subyektif, harus berdasarkan fakta. Ada sebab pasti ada akibat kawan, terus tingkatkan kompetensi kita biar menjadi wartawan yang kompeten, biapun belum 100% suci tetapi semua yang kita kerjakan berkenan di hadapan Tuhan YME, sesuai dengan iman kita masing-masing.
Penulis: David Kusuma, S.T., M.Miss. (Waka SMSI Malang Raya, Ketua Mandat PJS Kota Malang, Waka LP2BN Malang Raya)