Jakarta, www.beritamadani.co.id – Paramadina Institute of Ethic and Civilization (PIEC) bekerja sama dengan Yayasan Persada Hati mengadakan Kajian Etika dan Peradaban Edisi ke – 24, dengan mengangkat tema “Memperkuat Masyarakat Sipil untuk Menumbuhkan Kualitas Demokrasi”. Diskusi berlangsung Rabu (6/12/2023) secara luring, di Ruang Kasuari – Grand Ballroom, Ambhara Hotel dimoderatori oleh Dr. Sunaryo.

Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D. (Ketua PIEC), menyampaikan bahwa penguatan masyarakat sipil, merupakan bagian dari upaya memelihara demokrasi, isu ini diangkat untuk menjaga sejarah intelektual. “Masyarakat sipil mempunyai peran besar dalam demokrasi, yakni; untuk membatasi, dan mengontrol kekuasaan. Persoalan yang terjadi saat ini adalah pelemahan suara-suara masyarakat sipil, dan dengan demikian mengancam demokrasi,” kata Pipip.

Usman Hamid, M. Phil (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), memberikan pandangan bahwa oligarki pada mulanya memang mengkhawatirkan proses demokratisasi karena mendorong antara yang diuntungkan dan yang tertindas. “Maka dari itu, sistem ekonomi Indonesia merupakan kepanjangan dari sistem ekonomi global yang kapitalistik. Sistem kepartaian yang tidak ideologis sehingga beraliansi kolusif, yang berkuasa dan tidak berkuasa saling berkaitan sehingga dikenal dengan kartel politik,” ujarnya..

Banyak negara memberikan subsidi untuk partai politik sehingga banyak partai politik mencari pendanaan sendiri dan berakhir dengan terlibatnya para tokoh dalam korupsi. “Gejala-gejala kemunduran demokrasi itu, ada pada sisi kebebasan politik yang mengalami regresi, masalah ekonomi, dan masalah social,” tambahnya.

“Dalam konteks demokrasi sosial, memperlihatkan demokrasi indonesia mengalami kecacatan. Problem kemunduran demokrasi itu disebabkan oleh undang-undang yang represif, konflik di Papua, dan lain sebagainya,” papar Usman.

Tak hanya itu, Usman Hamid berpandangan bahwa sebenarnya yang mendorong adalah sentimen politik yang populis. Ada beberapa tanda kenapa demokrasi mengalami regresi yaitu praktek represif membatasi kritik, penurunan kualitas partai politik, proses monopolisasi dan politisasi dalam media, pelemahan kelembagaan penegak hukum, dan polarisasi

Narasumber lainnya Fachry Ali, M.A. (Cendekiawan Muslim), melihat tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh The Jakarta Post sangat baik. Dalam pandangannya semakin otoriter pemerintah di kawasan Singapura, Malaysia, dan Thailand, semakin laku far eastern economic review, karena berfokus pada ekonomi dibandingkan dengan politiknya. “Ketika demokrasi dilaksanakan, maka pada saat itu koran-koran yang bersifat kritis gagal. Kecuali jika memiliki modal yang sangat kuat,” kata Fachry Ali.

Lebih lanjut Fachry Ali menyatakan bahwa telah terjadi migrasi digital kedalam politik, yang sebelumnya kebijakan-kebijakan negaralah yang menciptakan konsolidasi modal secara besar-besaran. “Negara yang lemah, kemudian konsolidasi kekuatan modal yang sudah berlaku sejak lama, maka mereka merupakan aktor-aktor yang independen. Pada saat ini, bukan lagi mengenai state vs society. Kemudian yang terjadi saat ini adalah state vs society vs oligarki,” pungkasnya. (PRM)

Previous post <strong>Great Power Rivalry in Indo–Pacific Region: Lessons From Taiwan and Indonesia</strong>
Next post <strong>Pj Wali Kota Malang: Tanpa Narkoba Kita Mbois Ilakes!</strong>