Malang, www.beritamadani.co.id  – “Alhamdulilah dana budaya yang turun sebesar 195 jutaan, yang harus dibagi untuk beberapa urusan dan desa di wilayah Kabupaten Malang. Turun dari yang semula 300 jutaan,” ujar Anwar perwakilan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Malang, yang hadir diacara dialog budaya yang diadakan oleh Surya Chandra Singhasari, di Pendopo Kawedanan Singosari, Kabupaten Malang, Kamis (18/5/23).

Perhatian yang minim terkait anggaran dari Pemkab Malang ini akhirnya menjadi salah satu pembahasan penting dalam dialog budaya yang dihadiri oleh para tokoh budaya seperti Ki Djati Kusumo, Ki Djati Supriyanto, Ki Suryo, Ki Suroso, Ki Bagus Sampurno, Ki Mujiono, serta para pinisepuh budaya dari Kasepuhan yang ada di Malang.

Dialog budaya dengan tema “Konsolidasi Budaya Menuju Singosari Kembali” diawali oleh penyampaian sejarah Singhasari oleh Ki Bagus Sampurno, dalam paparannya Ki Bagus Sampurno menjelaskan bagaimana peninggalan-peninggalan dari Nusantara disimpan di Leiden Belanda dan Kosovo, serta bagaimana sejarah Singhasari menurut penelitiannya.

“Beberapa peninggalan artefak disimpan di Leiden Belanda, selain sudah adanya perjanjian dengan Sinuwun Paku Buwono X dengan Ratu Belanda, karena Negeri Belanda memiliki kemampuan untuk memelihara peninggalan tersebut, seperti tulisan di daun lontar bila tidak dirawat dengan suhu tertentu  akan rusak, tetapi satu persatu mulai dikembalikan,” ujar Ki Bagus Sampurno yang juga seorang ahli pesawat dan ahli sejarah ini.

“Sejarah terkait Ken Arok menjadi raja yang saling bunuh membunuh tidak sesuai dengan ajaran leluhur kita yang adi luhung, ini tidak match. Terkait sejarah Singhasari, saya sedang membuat buku berdasarkan catatan dan penelitian saya di Leiden, Jerman, dan Kosovo, setelah selesai segera bisa saya bagikan secara gratis,” imbuhnya.

Ki Mujiono mantan Ketua DPRD Kaltim yang juga anggota DPR RI dari PAN asal Poncokusumo Tumpang, yang juga hadir pada dialog budaya tersebut, juga menyoroti terkait minimnya anggaran budaya dan ada wacana yang akan merubah situs bersejarah Pendopo Kawedanan Singosari menjadi rumah sakit, serta rencana peningkatan, pengembangan, dan pelestarian budaya, serta peningkatan pelayanan administrasi dengan ide menjadikan Singosari menjadi Ibukota Utara Kabupaten Malang.

“Masalah dana sebenarnya bukan masalah, silakan membuat proposal dan akan saya bawa ke Jakarta, ke Komisi 8 yang membidangi Budaya. Saya ingin Malang Raya kita angkat, lebih baik dari sekarang,” tuturnya.

Tanggapan dari peserta dialog datang dari Ki Suryo, pelaku dan Pemerhati Budaya dari Tumpang. Disampaikan bahwa terdapat penyesatan dari Kitab Pararaton terkait sejarah Singhasari.

“Terdapat penyesatan sejarah Singhasari yang tertulis di Kitab Pararaton, yang menganggap Ken Arok itu sebagai raja yang kejam, menjadi raja melalui proses beberapa pembunuhan, itu semua sebenarnya adalah penyesatan sejarah yang dibuat oleh Belanda,” tuturnya.

“Dari Tumapel lah kerajaan Singhasari ada, dan Ibukotanya di sekitar Pendopo Kawedanan ini, kalau mau silakan melihat ke area Pasar Singosari, di situ terdapat peninggalan Singhasari,” tegas pemerhati budaya dari Tumpang dengan ber api-api penuh semangat.

Salah satu sesepuh spiritual dari Tapak Siring Ki Djati Supriyanto, yang hadir dalam dialog budaya ketika diwawancarai secara khusus oleh www.beritamadani.co.id,  memberikan dukungan kepada Ki Suryo, dalam upaya meluruskan sejarah Singosari. “Telah terjadi penyesatan terhadap sejarah Singosari, segera kita luruskan. Kita memiliki budaya adi luhung tidak mungkin karena ingin menjadi raja besar melakukan banyak pembunuhan. Tidak benar yang disebutkan di Kitab Pararaton,” ungkap Ki Djati Supriyanto dengan tegas.

Kebesaran Singhasari juga disampaikan oleh Ki Djati Kusumo, yang menyampaikan apa yang dilakukan untuk melestarikan budaya adalah menjual nama Singhasari, salah satunya keberadaan Bunda Ken Dedes.

“Semua yang saya lakukan adalah menjual Singhasari, mulai dari Bunda Ken Dedes. Mari yang belum pernah datang ke tempat tinggal Bunda Kendedes bisa melihat dengan datang ke sana. Tempatnya ada di Polowijen, dimana di sana ditemukan batu Lumpang,” pungkasnya. (Cakra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post <strong>Ekologi Integral untuk Kita dan Pemimpin yang Peduli Lingkungan</strong>
Next post <strong>Pandangan Umum Fraksi Terkait Ranperda Penanaman Modal Disampaikan Saat Sidang Paripurna DPRD Kota Malang</strong>