Jakarta, www.beritamadani.co.id – Dr. dr. Taufik L. Pasiak, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Veteran Jakarta, dalam diskusi Webtalks Politik Kesejahteraan Sosial dan Masyarakat mengatakan, profesi dokter juga harus paham soal-soal politik karena banyak penyakit dalam skala makro semuanya pada dasarnya disebabkan oleh politik kebijakan, Jumat 11 November 2022.
Hadir sebagai pembicara Prof Dr Didik J Rachbini Rektor Universitas Paramadina, Abdul Hamid Ketua Dewan Pengarah LP3ES, dan Moderator Dr. Bambang Susanto.
Taufik mencontohkan produk makanan cepat saji burger, yang di Barat dinaikkan kadarnya menjadi 1800 kalori sehingga menyebabkan angka obesitas meninggi.
“Begitu juga di Indonesia, akibat kebijakan ekonomi politik untuk melonggarkan pendirian gerai makanan cepat saji di mana-mana, maka banyak anak muda saat ini yang mengalami obesitas dan kena hipertensi,” ujarnya.
Menurutnya, profesi kedokteran atau seorang dokter amat naif kalau tidak memahami urusan-urusan politik. Masalah dunia kedokteran di Indonesia sudah berkelindan rumit luar biasa. Padahal ada UU Kedokteran, UU Pendidikan Kedokteran dan UU Kesehatan.
“Apalagi saat ini ada usulan dari pemerintah untuk meng-omnibus law-kan ke-3-nya itu ke dalam satu Undang-undang. Hal itu tentu sebuah hal yang riskan, karena masalah kesehatan adalah bagian dari kesejahteraan masyarakat dan dokter yang harus diurus dengan hati-hati,” tuturnya.
Masalah kesehatan masyarakat adalah bagian dari sistem ketahanan dan pertahanan suatu negara. Jadi mobilisasi kesehatan warga masyarakat dengan demikian tidak hanya untuk masalah kesehatan an sich. Tetapi bidang kedokteran dan kesehatan warga masyarakat menjadi bagian penting dari ketahanan dan pertahanan sebuah negara.
Lebih lanjut menurut Taufik, ancaman terbesar dari perang asimetris di bidang kedokteran terkait perang dengan senjata biologi, senjata kimia dan lainnya. Kasus maraknya gagal ginjal anak mungkin saja adalah bagian dari perang asimetri menggunakan senjata biologi, senjata kimia.
“Serangan biologi berindikasikan dampak yang cepat, fatal dan massive. Karena itu masalah kesehatan masyarakat dan dunia kedokteran harus didukung oleh semua kalangan dan tidak bisa dibiarkan jalan sendiri,” imbuhnya.
Dunia kedokteran dan kesehatan Indonesia saat ini memang kekurangan tenaga medis dokter dalam jumlah banyak. Dari 270 juta penduduk, profesi dokter umum hanya ada 150 ribu orang. Jauh dari standar WHO yang mensyaratkan 1 dokter untuk 1000 orang. Jika dihitung perbandingan, maka Indonesia masih kekurangan 120 ribu tenaga dokter. Sedangkan Fakultas Kedokteran kita hanya meluluskan 12.000 orang dokter per tahunnya. Jadi butuh 10 tahun untuk memenuhi tenaga 120 ribu dokter di Indonesia.
“Belum lagi masalah yang terjadi di lapangan. Karena kekurangan tersebut pemerintah lalu mengizinkan pembukaan fakultas kedokteran di mana-mana dengan jaminan mutu yang masih dipertanyakan oleh organisasi profesi kedokteran. Padahal mutu dokter sangat berpengaruh pada tingkat kesembuhan dan kesehatan warga yang sakit,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr. Didik J. Rachbini rektor Universitas Paramadina menyampaikan bahwa aspek kesehatan warga negara merupakan aspek teramat penting dan menjadi hak dasar dan hak asasi setiap warga negara. Konsep kesejahteraan sosial adalah konsep utama negara sebagaimana bunyi pembukaan UU dan UUD 1945. Tetapi belum terwujud sepenuhnya di dalam masyarakat.
Menurut Didik terdapat 8 dimensi kesejahteraan umum dalam Undang-undang yakni: Kedaulatan Rakyat, Perlindungan Rakyat, Keuangan Negara untuk Rakyat, Pekerjaan dan Penghidupan Rakyat, Jaminan Kesehatan dan Sosial, Pendidikan Umum untuk Kesehatan dan Kesejahteraan, Kekayaan Alam untuk Rakyat, Membebaskan Kemiskinan.
“Hal penting dari Pasal 5 aspek jaminan kesehatan dan sosial, dijelaskan dalam amandemen UUD 1945 dan setelah kelompok terdidik Indonesia belajar ihwal jaminan kesehatan dan perlindungan sosial di negara maju, maka muncul kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan kesehatan yang maksimal oleh Negara,” papar Didik.
Dengan demikian jelas Didik, negara wajib memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya. Dulu pada era Soeharto dan Habibie, hal memberikan pelayanan kesehatan kepada semua warga negara belum tercapai karena terbatasnya anggaran, dan belum seriusnya diskursus tentang pelayanan kesehatan bagi warga negara.
“Barulah pada era reformasi khususnya pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono hal layanan kesehatan masyarakat melalui BPJS terwujud. Meskipun timbul masalah dan keluhan di sana sini, tetapi masih dalam batas yang akan bisa diatasi. Kelas menengah telah banyak mengikuti asuransi khusus/mandiri, dan layanan kesehatan telah menyeluruh,” tambahnya.
Didik juga mengkritisi dunia kedokteran, kadang terdapat dokter yang karena tidak pernah bersentuhan dengan masalah sosial sejak muda, maka ketika menjadi dokter memiliki intelegensi sosial yang lemah. Pengambilan keputusan dalam hubungan dengan masyarakat menjadi bermasalah.
“Selain itu dunia kesehatan dan kedokteran juga mengalami masalah oligarki dan “privilege turun temurun” menjadi dokter. Selain itu terdapat masalah monopoli obat-obatan. Padahal hal tersebut melanggar UU Anti Monopoli. Begitu pula permainan harga obat, seperti obat asam urat yang jauh lebih mahal dibandingkan harga obat asam urat di Pakistan,” tuturnya.
Abdul Hamid, Ketua Dewan Pengarah LP3ES menyatakan bahwa kesejahteraan adalah bagian penting dari kepentingan umum yang akan berlangsung dengan baik jika negara memiliki orientasi yang besar terhadap kepentingan publik. Jika kebijakan negara keluar dari orientasi kepentingan publik maka bisa dipastikan kesejahteraan umum akan terabaikan.
“Oligarki akan mempengaruhi orientasi sisi bisnis dari kebijakan publik. Apabila tidak dijaga maka dikhawatirkan kebijakan negara akan bergeser dari orientasi publik. Jika itu terjadi maka bisa jadi aspek kesejahteraan publik diantaranya kesehatan masyarakat akan terabaikan,” katanya.
Menurut Hamid, demokrasi sangat penting untuk menjaga kepentingan publik agar tetap berorientasi kepentingan publik. Jika demokrasi dijalankan dengan cara-cara yang kurang sehat maka akan menghasilkan kebijakan publik yang kurang sehat pula. Maka, menjadi kewajiban seluruh insan akademis kampus, dan peneliti serta aktivis untuk terus menjaga orientasi publik menjadi dasar dari sebuah kebijakan negara.
“Jika politik kesejahteraan masyarakat tidak berlangsung dengan baik, maka itu artinya negara telah kehilangan etisnya. Seperti misalnya masalah kesehatan warga yang merupakan hak dasar warga negara. Maka jika itu berlangsung dengan baik, maka tujuan etis dari sebuah negara telah kehilangan maknanya,” pungkasnya. (*/Red.BMK)