Jakarta, www.beritamadani.co.id – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta menggelar nonton bareng (nobar) film garapan Kasan Kurdi yang berjudul Before You Eat (BYE). Nobar juga dilanjutkan dengan sesi diskusi untuk membahas peran aktif akademisi dan mahasiswa dalam memahami karut marut persoalan Anak Buah Kapal (ABK) Perikanan Indonesia. Jumat (10/6/22).
Film yang diproduksi oleh SBMI dan didukung oleh Greenpeace Indonesia ini menceritakan upaya untuk mengungkap aktivitas perikanan ilegal atau yang lebih dikenal dengan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing yang berkaitan erat dengan praktik perdagangan orang dan perbudakan modern ABK Perikanan Indonesia di kapal perikanan asing.
Praktik perbudakan modern yang menimpa ABK asal Indonesia merupakan persoalan yang kerap terjadi bertahun-tahun. Menurut catatan SBMI, terdapat 338 aduan kasus kerja paksa ABK Indonesia di kapal ikan asing dari September 2014 – Juli 2020. Pada tahun 2020 sendiri, jumlah aduan meningkat menjadi 104 kasus, dimana pada tahun sebelumnya berjumlah 86 pengaduan. Pada tahun 2021, SBMI kembali mendapat pengaduan kasus ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing sebanyak 188 kasus.
Data tersebut menujukan tren peningkatan yang tentu saja, harus disikapi secara serius. Oleh karena itu, film BYE menjadi cukup relevan sebagai salah satu medium untuk mendesak pemerintah Indonesia bersikap lebih tegas dalam membenahi tata kelola perekrutan ABK Indonesia dan memberikan perlindungan pada ABK Perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing.
BYE juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi para akademisi dan mahasiswa untuk dapat memahami persoalan secara mendalam serta mencari solusi untuk tata kelola tenaga kerja pada sektor ini.
Pada sesi diskusi, Dosen Hubungan Internasional Paramadina, Benni Yusriza Hasbiyalloh mengatakan bahwa solusi aktif dapat dimulai dengan mengedepankan agenda penelitian-penelitian berperspektif pengalaman korban dan penyintas.
“Dengan memahami pengalaman korban dan penyintas, kita tidak hanya bisa mempelajari kekerasan yang dialami pada saat bekerja tapi juga bagaimana kekerasan terjadi di setiap lintasan migrasi korban. Kita juga bisa menilai apakah solusi-solusi yang ditawarkan dan diberikan oleh pemerintah mampu untuk memberikan keadilan atau malah memperpanjang penderitaan korban,” tegas Benni.
Pada akhirnya, Benni menambahkan, film BYE seharusnya menyadarkan kita bahwa penelitian-penelitian wajib berpihak kepada kelompok masyarakat rentan.
Hal senada juga disampaikan oleh Salsa Nofelia Franisa dari Departemen Advokasi SBMI, yang mengajak dan mendorong mahasiswa untuk sampai pada level advokasi atau memperjuangkan secara aktif agenda tata kelola perlindungan ABK Perikanan Indonesia yang lebih baik.
“Kalau mau jujur, selama ini ada kekosongan hukum jika berbicara perlindungan relasi kerja ABK Perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing. Berdasarkan mandat dari UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pemerintah seharusnya menerbitkan Peraturan Pemerintah terkait perlindungan ABK kapal niaga dan perikanan 2 tahun semenjak disahkan. Tapi, PP Penempatan dan Pelindungan ABK baru disahkan 8 Juni 2022 kemarin, setelah 3 mantan ABK mendaftarkan gugatan ke PTUN,” tambah Salsa.
Santim, mantan ABK perikanan di kapal asing yang tampil sebagai salah satu narasumber pada sesi diskusi juga mengajak masyarakat, termasuk kalangan akademisi dan mahasiswa untuk bersama-sama menyuarakan isu perbudakan modern di laut.
“Sebagai mantan ABK yang pernah menjadi korban perbudakan di laut, saya berharap tidak ada lagi teman atau saudara kita yang menjadi korban seperti saya. Untuk itu, mari terus suarakan isu perbudakan di laut ini agar berbagai persoalan yang dialami ABK, khususnya yang bekerja di kapal asing mendapat perhatian pemerintah dan pihak-pihak terkait,” jelas Santim. (*/Red.BMK)