IMG-20171031-WA0037 IMG-20171031-WA0040

Pacitan, Beritamadani.co.id – Desa Ngadirojo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, mempunyai potensi destinasi wisata religius yang perlu dilestarikan yaitu Mata Air Kapyuran. Mata air ini keluar dari batu. Salah satu route jalan menuju Mata Air Kapyuran ini, pengunjung bisa melewati  Dusun Dembo menuju Dusun Dadapan, melalui  Jembatan Desa Dembo, dengan panjang 325 meter.

Berdasarkan Arsip Desa Ngadirojo, diceritakan bahwa Ki Wonopolo (Mbah Kapyuran) seorang Santri dari Pondok Pesantren Ki Bandung, yang merupakan anak dari seorang Sesepuh Desa Klesem (Kebonagung, Pacitan). Beliau disenangi oleh Ki Bandung dengan maksud akan dijodohkan dengan anaknya (Nyi Blorok) sehingga Ki Wonopolo dalam segala hal mendapatkan perlakuan istimewa. Misalnya, setiap tahun Ki Wonopolo diberi wewenang “Asok Glondong Pengareng-areng” atau pajak ke Bupati Ponorogo (Bethoro Katong). Lebih dari itu, hampir semua tugas dan tanggung-jawab Ki Bandung sebagai wedono diberikan sepenuhnya kepada Ki Wonopolo.

Dari sikap Ki Bandung terhadap Ki Wonopolo yang seperti itu. Ki Sanjoyo Rangin merasa kurang nyaman, sebagai sahabat Ki Ageng Bandung. Ki Sanjoyo Rangin memutuskan berpisah dengan Ki Bandung dan melanjutkan badra atau babat ke Wilayah Dukuh Dira atau Punjul (Sebagai embrio Desa Bogoharjo).

IMG-20171031-WA0041 IMG-20171031-WA0042

Setelah Desa yang dibangun, dirasa sudah bisa ditinggalkan (maju), beliau memilih melanjutkan perjalanannya ke Wilayah Dukuh Nglaran, yang masih berupa hutan semak belukar, untuk kemudian dibabat atau dibangun menjadi sebuah desa yang subur makmur yang sampai sekarang disebut Desa Nglaran, Kecamatan Tulakan.

Ki Sanjoyo Rangin tinggal di desa tersebut sampai wafat dan makamnya dikeramatkan oleh warga sekitar hingga sekarang karena dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah yang perlu dilestarikan.

Kemudian, Ki Wonopolo semakin dipercaya dan semakin dikukuhkan akan dijadikan menantu oleh Ki Ageng Bandung. Lebih dari itu, Ki Wonopolo digadang-gadang akan menggantikan Ki Bandung sebagai Wedono Lorok. Titah atau Sabda Ki Bandung tersebut tercium oleh anak kandungnya sendiri yaitu Ki Satriyo yang tampan dan cerdas dalam segala hal.

IMG-20171031-WA0050 IMG-20171031-WA0047

Bermula dari hal tersebut, Ki Satriyo merasa ada hal-hal yang kurang sehat dan perlu dikritisi dan disiasati. Pada saat Ki Wonopolo ditugasi membayar Glondong Pengareng-Areng (Pajak) ke Bupati Ponorogo (Bethoro Katong), Ki Satriyo membuntuti dari belakang (Perjalanan panjang Ki Wonopolo ke Pendopo Agung Ponorogo). Setibanya di pendopo, Ki Satriyo memilih sebo atau duduk di belakang dekat kentongan.

Karena pada saat yang sama Ki Wonopolo sedang berbincang-bincang tentang segala hal termasuk statusnya. Seusai wawan rembag, Ki Wonopolo meminta ijin untuk kembali pulang. Ki Satriyo yang pada saat itu mendengar seluruh pembicaraan Ki Wonopolo dengan Bupati Bethoro Katong, merasa ada kejanggalan-kejanggalan yang perlu diluruskan. Disisi lain, Bupati Ponorogo (Bethoro Katong) terkejut melihat pemuda tampan yang mencurigakan masih duduk simpuh di belakang dekat kentongan, padahal acaranya sudah selesai. Nah, kejanggalan itu dimanfaatkan. Dipanggillah Ki Satriyo untuk mencari tahu tentang keberadaannya di pendopo. Ki Satriyo berbicara apa adanya, bahwa dirinyalah yang sebenarnya merupakan anak kandung Ki Ageng Bandung (Wedono Lorok).

Dari bocornya rahasia tersebut, Ki Wonopolo merasa malu dan akhirnya memutuskan untuk tidak pulang ke Pondok Pesantren Ki Bandung, tetapi berhenti di Dukuh Mukus (Sekarang Desa Nogosari). Ki Wonopolo tidak lama tinggal di Mukus, karena oleh Ki Bandung dijemput untuk dinikahkan dengan anaknya, Nyi Blorok.

IMG-20171031-WA0051 IMG-20171031-WA0039

Setelah pernikahan, Ki Wonopolo tidak mau tinggal bersama di Pondok Pesantren Ki Bandung. Beliau memilih babat atau badra di Wilayah Bukit Kapyuran bersama istrinya. Karena di Bukit Kapyuran tidak ada air dan kandungan isterinya semakin besar, tidak mungkin lagi mengambil air atau mandi di Sungai Bedali (Embrio Desa Ngadirojo) yang jarak tempuhnya jauh dan medannya juga terjal. Berangkat dari situlah Ki Wonopolo semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT., untuk meminta petunjuk agar mendapat maghfirah dan istiqarah agar bisa menggali mata air atau sumber mata air di wilayah perbukitan yang tandus dan gersang tersebut.

Berkat petunjuk Allah SWT, tidak terlalu lama beliau diberi petunjuk untuk menggali sumur ditiga titik dengan senjata pamungkasnya berupa Keris atau Wesi Aji (Cis). Semua petunjuk tersebut dilakukan dengan sebaik-baiknya yang kemudian menghasilkan sebuah berkah mata air yang sangat menggembirakan, di titik yang ketiga mengalirkan sumber air yang luar biasa (Sumber Arsip Desa Ngadirojo).

Selain jernih dan sehat, airnya dimanfaatkan untuk mandi, minum, mengairi perikanan darat, memelihara ternak dan unggas, serta untuk kegiatan pertanian. Sebagai penerus dan pewaris sejarah, sudah waktunya kita untuk peduli dan menata kembali atau menghijaukan kembali sekitar mata air tersebut bersama pemerintah setempat agar aset desa itu tetap lestari dan bermanfaat untuk anak cucu kita.

IMG-20171031-WA0038 IMG-20171031-WA0035

Saat dikonfirmasi Awak Beritamadani.co.id, Bibit Juru Kunci Kapyuran, menceritakan, “Mata Air Kapyuran ini terletak di RT.2 RW.2, Dusun Kapyuran, Desa Ngadirojo. Saya  menjadi Juru Kunci Sumber Kapyuran sejak Tahun 1981, sampai sekarang. Sumber Air Kapyuran berasal dari batu yang di Cis oleh Ki Wonopolo. Batu itu di Cis tigakali. Pada saat di Cis pertama masih merembes “embes-embes” , Cis kedua mulai “pyur-pyur”, Cis ketiga keluar air dengan volume yang cukup besar. Maka sumber ini dinamakan Kapyuran. Walaupun musim kemarau, sumber ini tetap memancarkan air. Bersih Dusun atau Selamatan, setiap Lungkang (Selo) Hari Jum’at Pon. Tujuannya untuk membersihkan lingkungan yang ada di sekitar Sumber Kapyuran supaya banyak rezeki, warganya tetap sehat, tidak ada bencana. Air dari Sumber Kapyuran ini dialirkan ke Dadapan, Kaliatas dan Warga Sekitar Sumber Kapyuran”.

Ditempat terpisah, Awak Beritamadani.co.id menemui Tungadi, selaku Kepala Desa Ngadirojo. Tungadi menyampaikan, “Rencana kedepan Makam Ki Wonopolo (letaknya kurang lebih 50 meter di bawah Mata Air Kapyuran) akan diberi pagar pembatas kemudian sebelahnya akan dibuat kolam renang. Desa Ngadirojo bekerja keras secara terus-menerus dan berkelanjutan untuk merawat Sumber Mata Air Kapyuran yang merupakan sumber kehidupan dan tonggak sejarah serta merupakan embrio Desa Ngadirojo. Dengan kerja keras dan kerjasama dari semua pihak secara sinergis, Desa Ngadirojo khususnya Kapyuran bisa dilestarikan dengan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk di jadikan sebagai tempat ziarah makam (Makam Ki Wonopolo) dan sekaligus dibangun pemandian dan pemancingan (tempat wisata) untuk membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitarnya”.

Mata Air Kapyuran yang saat ini masih alami dan asri perlu dijaga dan dilestarikan agar manfaatnya bisa tetap dirasakan oleh generasi yang akan datang. (Widya)

One thought on “Potensi Wisata Religi di Mata Air Kapyuran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Team Komnas HAM RI Menemui Warga Terdampak Tol Mapan di Malang
Next post Nasi Tiwul Goreng Dengan Daun Manisah Khas Cafe Prongos