DSC05157DSC05130

Kediri, Beritamadani.co.id – Umat Hindu di Kabupaten Kediri mengadakan acara Dharmaning Pangentas Entas Pitra Yadnya di Candi Tegowangi, Kabupaten Kediri. Acara ini dipimpin oleh Ida Shri Bhagawan Hari Wira Ratu Manik dari Pasraman Negeri Panca Sari Kriye Ratu Manik Bali. Pemuput Ida Shri Bhagawan Hari Wira Ratu Manik, Romo Ageng Wijoyo Buntoro, Romo Rsi Rahmadi Dharmo Catur Telabah, Romo Rsi Hasto Dharmo Catur Telabah, Romo Rsi Adyaksa Dharma Panca Telabah. Acara ini terselenggara berkat kerjasama Yayasan Widya Ganesha Kadiri, PHDI Kabupaten Kediri dan Plt. Pembimas Hindu, Kementerian Agama Kabupaten Kediri.

Acara ini dihadiri oleh Kepala Desa Tegowangi, Dinas Purbakala, Dinas Pariwisata, Kasepuhan Kejawen, Pengurus PHDI pusat, Prof. Dr. Ida Anak Agung Agung Gede Putra Agung (Raja Karangasem Bali,red) bersama dengan Anak Agung Bagus Maha Putra Sanjaya, SH (Cucu Raja Karangasem Bali,red) dan umat Hindu yang berada di Kabupaten Kediri dan sekitarnya.

DSC05055 DSC05106

Sebelum acara ritual dimulai sambil menunggu Sandya Kala, Pukul 12.00 Wib, diawali dengan sambutan dari Kolonel Inf. Purnawirawan I Nengah Dana (Pengurus PHDI Pusat,red). Dalam sambutannya beliau memaparkan, “Pangentas entas Pitra Yadnya (Upacara Srada,red) adalah upacara kepada para leluhur yang wajib dilaksanakan parisantana keturunan beliau”.”Mengapa wajib dilaksanakan?”.”Karena tanpa ada leluhur tidak ada generasi yang terlahir”.“Upacara ini proses dari upacara Srada”.”Di Jawa disebut Ngentas entas, di Bali disebut Ngaben”.”Dasar sastranya ada dalam lontar yang berasal dari Jawa, yaitu Lontar Purwa Bumi Kamulan, kemudian Yama Purwana Takwa Negara Kertagama”. “Tradisi apapun yang digunakan, tujuannya sama karena ini merupakan kearifan Nusantara sejak zaman batu besar (Megalithikum,red) pemujaan kepada leluhur yang berkaitan dengan Srada sudah dilakukan”.”Pada zaman Hindu, bahkan setelah pengaruh Hindu dilakukan pula”.

“Pemujaan terhadap leluhur yang dimuliakan sebagai manusia yang sudah melepaskan raganya tapi tetap memuliakan jiwa atma nya yang tetap suci, maka orang Hindu melakukan Upacara Srada”.”Di Jawa disebut Pangentas Entas, di Bali disebut Ngaben nanti ending Upacara Pengentas Entas, di Bali digelar Upacara Srada, dilanjutkan Upacara Cinandi mencandikan roh suci leluhur dengan membuatkan arca”.“Arca itu diidentikkan dengan dengan arca-arca dewa”.”Karena roh suci leluhur yang sudah diupacarakan, disucikan, lagi lapisan-lapisan jasad rohaninya yang terdiri dari lapisan pertama, lapisan badan kasar (tulang sarira,red) melalui sawa prateka, perawatan jenazah sampai pembakaran jenazah (pembakaran tulang belulang jenazah,red) yang disebut astiwedara kalau di Bali”.”Lapisan kedua adalah sukma sarira terdiri dari lapisan pikiran dan lapisan intelek itu disucikan melalui upacara, di entas yang berupa tulang sarira dan sukma sarira kalau di Bali disebut asma wedara”, pungkas Kolonel Inf. Purnawirawan I Nengah Dana.

DSC05235DSC05152

Tepat Pukul 12.00 Wib, Ritual Upacara Pitra Yadnya Leluhur Agung Kediri dimulai, semua yang hadir memakai ikat kepala dari kain putih (AUM,red) sebagai lambang kesucian. Fungsi Upacara Ngentas Entas antara lain sebagai penghormatan kepada leluhur, membersihkan roh-roh yang gentayangan, leluhur yang sudah murni tidak memihak siapa pun maka akan memberikan anugerah, kemuliaan pada lingkungan.

Setelah Ida Pandita membacakan mantra-mantra, kemudian dilanjutkan dengan upacara mapepegat yaitu upacara untuk memutus keterikatan Leluhur Agung terhadap kehidupan duniawi serta keterikatan kasih sayang dengan seluruh keturunannya, agar perjalanan Leluhur Agung menuju Sunia tidak terhambat oleh ikatan ikatan duniawi.

Kemudian dilanjutkan dengan menggendong adegan (doksina pitara,red) sebagai simbol dari jasad leluhur yang berjasa pada bangsa, berjalan mengelilingi tempat peyadnyan kearah kiri (berlawanan dengan arah jarum jam,red) sebanyak 3 kali, sebagai simbol Leluhur Agung meninggalkan tanah Kediri (dunia,red) materi menuju alam roh. Ida Pandita meyiapkan kunda (api pebasmian,red) untuk melakukan membakaran adegan Leluhur Agung.

DSC05223DSC05057

Dilanjutkan dengan pembakaran adegan Leluhur Agung sebagai simbol pengembalian unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya. Api dimohonkan dari Cita Agni Ida Pandita. Yang tidak dibakar teteken atau tongkat yang berisi nama dari daun lontar, bokor alas adegan dan bunga mas. Disertai dengan Pitra Puja untuk mendoakan Leluhur Agung agar memperoleh Sorga, Moksa, Sunya atau Keheningan dan Trepti atau ketenangan. Setelah menjadi abu, panasnya abu disiram dengan tirtha penyeheb agar abu menjadi dingin, kemudian disiram dengan air bunga.

Taruh sebuah Kwangen di atas abu sambil mengucapkan, “Persada Stiti Sthula Sarira… Ya Namah Swaha”, selanjutnya Kwangen dan Abu diambil dengan sepit, ditaruh diatas kain putih, sebagai simbol mengambil abu dari sthula sarira atau badan kasar leluhur. Kemudian abu di masukkan ke dalam kelapa gading, selanjutnya dibungkus dengan kain rajah dan dihias. Tongkat atau teteken dipasang kembali, bunga mas, kelapa gading dialasi dengan bokor.

Kelapa gading yang sudah dihias diletakkan kembali ketempat semula, selanjutnya Ida Pandita Ngadegang atau Ngelinggihang Roh Leluhur Agung  pada masing-masing abu kelapa gading yang telah dihias. Selanjutnya disucikan dengan Pabyakala, Durmenggala dan Prayascita. Kemudian dipersembahkan Tarpana.

Kemudian masing-masing kelapa gading digendong menuju tempat nganyut diawali penuntunan memutari tempat pembasmian sebanyak 3 kali ke arah kiri mengandung arti Leluhur Agung meninggalkan tempat pembasmian. Selanjutnya dibawa ke sungai brantas. Jero Mangku Gede menghantarkan puja penghanyutan di pinggir sungai brantas. Dilanjutkan dengan sembahyang bersama kehadapan Dewi Gangga karena telah menyucikan Roh Leluhur Agung.

Ditepi sungai brantas Jero Mangku Gede menghantarkan Puja Penghanyutan dipinggir sungai brantas. Yang tidak dihanyutkan teteken atau tongkat yang berisi nami, bunga mas dan bokor alas kelapa gading.

DSC05178DSC05108

Roh leluhur yang dientas antara lain 54 Brahmana, 36 Ksatria atau Raja, dan banyak lagi leluhur Kediri yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Saat ditemui Awak Beritamadani.co.id, Drs. Yuliana, Plt. Pembimas Hindu, Kementrian Agama Kabupaten Kediri, menyampaikan, “dalam siklus 500 tahun baru kali ini dilaksanakan Upacara Pitra Yadnya Leluhur Agung Kediri, karena setelah runtuhnya Majapahit tidak ada yang melaksanakan upacara ini”.”Setelah era kemerdekaan, Hindu bangkit kembali”.

Ditempat terpisah Awak Beritamadani.co.id berkesempatan menemui rombongan Raja Karangasem Bali. Saat dikonfirmasi Awak Beritamadani.co.id, Anak Agung Bagus Maha Puta Sanjaya, SH (cucu Raja Karangasem,red) menuturkan, “Acara ini bagus untuk pelestarian budaya supaya tidak kehilangan jati diri bangsa”.”Kami sangat senang melihat kolaborasi Hindu Jawa dan Bali”.”Harapannya tahun-tahun kedepan lebih sering diadakan acara seperti ini untuk mempertahankan budaya asli dan mengingat leluhur bangsa serta bisa untuk melestarikan peninggalan budaya”.”Satu kesatuan ada upacara, budaya, kearifan lokal keluar semua”.

Acara ini selesai Pukul 24.00 Wib. Walaupun acara berlangsung sampai tengah malam, namun Umat Hindu tetap setia mengikuti prosesi upacara sampai selesai. (Widya)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Karnaval Dalam Rangka HUT RI Ke-71
Next post Puncak Acara HUT RI Ke-71 Di RW 03 Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri